Kegawatdaruratan Pada Kulit

Sabtu, 28 Maret 2009 0 komentar
PENDAHULUAN

Kegawat daruratan medik dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak, kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa mencegah dan membatasi cacat serta meringankan penderitaan dari penderita

Keadaan ini selain membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik dari penolong dan sarana yang memadai, juga dibutuhkan pengorganisasian yang sempurna.
Pertolongan pertama biasanya diberikan oleh orang-orang di sekitar korban. Diantaranya akan menghubungi petugas kesehatan atau dokter terdekat. Tidak jarang bahwa anggota Hansip, polisi dan pemadam kebakaran terlibat dalam hal ini. Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justeru dapat berakibat kematian atau cacat tubuh.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.

MACAM-MACAM KEGAWAT DARURATAN PADA PENYAKIT KULIT

Di klinik tidak jarang kita menemukan kasus-kasus emergensi yang memerlukan penanganan segera dan tepat. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Toxic Epidermal Nekrolisis
2. Steven Johnson Syndrome
3. Erythema Multiforme
4. Erythroderma
5. Angioedema
6. Reversal reaction
7. Erythema Nodosum Leprosum
8. Pemfigus Vulgaris
9. Purpura-Vaskulitis
10. Staphylococcus Scaled Skin Syndrome

1. Nekrolisis Epidermal Toxik
Definisi
Alan Lyell* mendeskripsikan nekrolisis epidermal toksik sebagai suatu erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit.18,19 Nekrolisis epidermal toksik adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini. Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa.18

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya nekrolisis epidermal toksik belum jelas, namun, dipercaya bahwa fenomena immun kompleks yang bertanggung jawab. Salah satu teori menyatakan akumulasi metabolit obat pada epidermis secara genetik dipengaruhi oleh proses imunologi setiap individu. Limfosit T CD8+ dan makrofag mengaktifkan proses inflamasi yang menyebabkan apoptosis sel epidermis.18

Gejala klinik
Pasien mungkin menampakkan gejala-gejala prodromal 2-3 hari seperti malaise, rash, demam, batuk, arthralgia, mialgia, rhinitis, headache, anorexia, serta mual dan muntah, dengan atau tanpa diare. Gejala dan tanda prodromal lainnya yang dapat berkembang seperti konjungtivitis (32%), faringitis (25%), dan pruritus (28%). Pada fase akut (8-12 hari) terjadi demam yang persisten, pengelupasan epidermis, dan terlibatnya membran mukosa. Komplikasi berupa stomatitis san mukositis, nyeri pada saat menelan sehingga pasien beresiko tinggi untuk terjadinya dehidrasi dan malnutrisi. Konjungtiva biasanya terlibat 1-3 hari sebelum munculnya lesi kulit. Erosi mukosa pipi, hidung, faring, dan trakeobronkial dapat terjadi. Erosi juga dapat terjadi pada esofagus, perineum, vagina, uretra serta mukosa usus.19
Tanda vital pasien dapat didapatkan hiperpireksia, hipotensi sekunder sampai hipovolemia dan takikardi. Pada pameriksaan kulit didapatkan:
• Lesi kulit dimulai dengan nyeri/rasa terbakar, panas, eritematous, macula morbiliform secara simetris pada wajah dan dada sebelum menyebar ke seluruh badan.
• Nikolsky sign positif
• Krusta hemoragik pada bibir
• Konjungtivitis umumnya ditemukan sebelum terjadi pengelupasan epidermis.
• Pneumonia merupakan komplikasi yang paling berat dan merupakan kegagalan nafas akut dan membutuhkan intubasi.19

Gambar 1. krusta hemoragik membrane mukosa pada TEN

Gambaran Histopatologi
Secara histologi, terdapat penebalan nekrosis epidermis dengan tanda inflamasi dermis atau epidermis. Bisa terdapat pelepasan dan pengelupasan epidermis. Nekrosis sel satelit dapat terlihat, sampai nekrosis eosinofil secara luas.19

Pemeriksaan dan Tes
Tes-tes laboratorium hanya bisa membantu dalam menentukan terapi simptomatik atau suportif. Pemeriksaan radiologi tidak spesifik namun foto thoraks dapat dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi trakeobronkial yang menyebabkan pneumonia.18



Terapi
Perawatan kegawatdaruratan: unit gawatdarurat harus mencegah kehilangan cairan dan elektrolit dan mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan dan elektrolit secara agresif, mengatasi nyeri, dan perawatan kulit dengan teliti merupakan tindakan yang sangat penting. Pasien dengan lesi kulit yang luas memerlukan kamar isolasi dan lingkungan yang steril.18
• Daerah erosi pada kulit harus di lindungi dengan pakaian pelindung nonadherent seperti petroleum gauze
• Distress pernapasan bisa mengakibatkan pengelupasan dan edema dan membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi.18

Cairan dan elektrolit harus dimonitor. Menjaga keseimbangan cairan dan basa titrat dengan tekanan vena sentral dan output urine. Sekitar 3-4 L dibutuhkan pada pasien dengan 50 % area kulit terlibat. Nutirsi secara parentral atau secara enteral via selang nasogastrik biasanya dibutuhkan. Nutrisi enteral secara awal dan kontinu mengurangi risiko stress ulcers, mengurangi translokasi bakteri dan infeksi enterogenik.19


2. Sindrom Stevens-Johnson

Definisi
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. biasanyaStevens dan dr. Johnson, sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik ( toxic epidermal necrolysis/TEN). Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). Sekarang sindrom ini dikenal sebagai eritema multiforme mayor.20

Patofisiologi
SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.20
Gejala klinik
Secara tipikal, penyakit ini dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang nonspesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodromal yang berlangsung selama 1-14 hari yaitu demam, radang tenggorokan, sakit kepala, dan malaise. Muntah dan diare kadang merupakan gejala prodromal. Lesi mukokutaneus berkembang secara tiba-tiba. Lesinya bersifat nonpruritus. Riwayat demam bisa terjadi akibat terkena infeksi, namun demam telah dilaporkan terjadi pada lebih 85% kasus. Keterlibatan membrane mukosa oral bisa membuat pasien mengalami kesulitan dalam makan dan minum. Pasien yang mempunyai keterlibatan dalam genitourinary bisa mengeluhkan disuria. Gejala tipikal tersebut diatas diikuti dengan batuk produktif dengan sputum purulen tebal, sakit kepala, mialgia dan artralgia. Rash dimulai dengan macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bulla, plak urtikaria, atau eritema yang konfluen.20
Penyebab SJS berupa:
• Obat-obatan dan keganasan merupakan etiologi pada dewasa dan orang tua.
• Pada kasus anak proses infeksi merupakan penyebab yang etrsering dibandingkan keganasan atau reaksi obat.
• Obat-obatan seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah diketahui sebagai penyebab pada dua pertiga pasien dengan SSJ.
• Lebih setengah pasien dengan SSJ melaporkan infeksi saluran napas bagian atas
• Keempat kategori etiologi adalah (1)infeksi, (2)obat-obatab, (3)keganasan, dan (4)idiopatik.20

Pemeriksaan laboratorium:
• Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
• CBC (complete blood count) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebakan karena infeksi bakteri.
• Kultur darah, urin, dan luka merupakan indikasi bila dicurigai penyebab infeksi.20
Tes lainnya:
• Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawatdarurat.
• Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal
• Adanya nekrosis sel epidermis
• Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular.20
Penatalaksanaan:
• Perawatan prehospital: paramedis harus mengetahui adanya tanda-tand kehilangan cairan berat dan mesti diterapi sebagai pasien SJS sama dengan pasien luka bakar.
• Perawatan gawatdarurat:
• Perawatan gawatdarurat harus diberikan penggantian cairan dan koreksi elektrolit.
• Luka kulit diobati sebagai luka bakar.
• Pasien SSJ semestinya diberikan perhatian khusus mengenai jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, perawatn luka dan kontrol nyeri.
• Penatalaksanaan SJS bersifat simtomatik dan suportif. Mengobati lesi pada mulut dangan mouthwashes, anestesi topikal berguna untuk mengurangi rasa nyeri. daerah yang mengalami pengelupasan harus dilindungi dengan kompres salin atau burrow solution
• Penyakit yang mendasari dan infeksi sekunder perlu diidentifikasi dan diterapi. Obat penyebab harus dihentikan.
• Penggunaan obat-obat steroid sistemik masih kontroversial.


Gambar 2. Sindrom Stevens-Johnson (lesi vesiko-bulosa)

3. Erythema Multiforme

Definisi
Eryhtema multiforme merupakan suatu penyakit akut dan merupakan penyakit kulit yang self-limiting dan merupakan erupsi kulit yang meradang. Bercak kemerahan terbentuk dari bintik-bintik merah di kulit, yang kadang-kadang tampak keunguan atau berisi cairan di tengahnya. Ia juga biasanya mengenai daerah mulut, mata dan permukaan-permukaan lain yang lembab. Dinamakan erythema multiforme karena munculnya variasi bentuk multiforme dengan derajat tinggi dalam presentasi klinisnya. Variasi ini menyebabkan erythema multiforme ini dibagi menjadi dua kelompok yang saling tumpang tindih yaitu eritema multiforme minor dan eritema multiforme mayor atau lebih dikenali dengan Stevens-Johnson’s syndrome.2

Epidemiologi
Eritema multiforme secara predominan diteliti pada dewasa muda dan sangat jarang pada anak-anak. Biasanya lebih mengenai pada pria tanpa mempedulikan ras dan warna kulit.2Peneliti lain menganggap eritema multiforme ini merupakan penyakit yang biasa pada ahli kulit. Dari penelitian mereka mendapatkan separuh dari kasus mengenai golongan muda (di bawah 20 tahun). Jarang didapatkan mengenai anak-anak di bawah 3 tahun dan mereka yang berusia di atas 50 tahun. Laki-laki biasanya lebih banyak mengenai eritema multiforme berbanding wanita tanpa ada predileksi ras. Sepertiga dari eritema multiforme kambuh sementara musim biasanya mempengaruhi.2,4

Patofisiologi dan Penyebab
Patofisiologi penyakit ini belum terlalu dimengerti tetapi muncul pendapat yang mengatakan penyakit ini melibatkan reaksi hipersensitivitas yang memicu berbagai stimulus, biasanya bakteri, virus atau produk-produk kimia.
Penelitian prospektif internasional yang terbaru menunjukkan penyebab mayor dari eritema multiforme ini adalah virus herpes. 4 Virus herpes yang paling sering menyerang adalah virus HSV I dan II. Tercatat serangan herpes labialis pada penyakit ini diperkirakan sebesar 50%. Herpes labialis biasanya menyerang pada lesi kutan (cutaneous lesion), muncul secara simultan dan juga muncul setelah lesi target erythema multiforme muncul. Herpes labialis menyerang lesi target pada erythema multiforme dalam waktu 3-14 hari. Dilaporkan kebanyakan kasus pada anak-anak dan dewasa muda disebabkan oleh virus HSV tipe I, tetapi ada juga yang mengatakan golongan ini masih bisa terkena erytheme multiforme akibat serangan virus HSV tipe II. Selain virys herpes (HSV), erythema multiforme bisa disebabkan oleh orf, Histoplasma capsulatum, dan virus Epstein-Barr.2

Gambaran Klinis
1. Gambaran histopatologik
Gambaran histopatologik berupa infiltrate limfosit dermal-epidermal junction dan sekitar pembuluh darah dermal, dermal edema, nekrosis keratinosit epidermal, dan pembentukan bulla subepidermal. Penelitian histology dan immunokimia mendapati pada erytheme multiforme mempunyai densitas tinggi pada infiltrate sel yang kaya dengan limfosit-T. 4

2. Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik untuk erythema multiforme ialah adanya lesi target pada kulit yang diameternya kurang dari 3 cm, mengenai kurang dari 20% permukaan tubuh, dengan penglibatan minimal dari membrane mukosa yang biasanya bisa dilihat lewat biopsi. Lesi kutaneus secara tipikal adalah simetrik, dan melibatkan ekstremitas, yang biasanya predileksinya pada tangan bagian dorsal dan ekstensor.4
Dari penelitian, hamper kesemua lesi muncul dalam waktu 24 jam dan muncul sempurna setelah 72 jam. Di dapatkan juga gatal dan rasa terbakar yang muncul diantara lesi-lesi. Lesi primer biasanya berbentuk bundar, papul kemerahan yang biasanya menetap dikulit selama 7 hari atau lebih. Beberapa papul-papul kemerahan ini biasanya berubah menjadi lesi target.
Lesi target berupa perubahan warna zona konsentrik, dengan tengahnya yang agak kehitaman atau zona keunguan dengan zona kemerahan di bagian luarnya. Lesi target selalunya membentuk vesikel atau krusta di zona tengah selepas beberapa hari. Beberapa lesi mempunyai tiga zona yang berbeda warna dengan pinggir kemerahan, putih di tengah dan hitam di bagian yang paling dalam. Kadangkala, ia membentuk lesi iris karena terdapat gambaran seperti pelangi (rainbow-like appearance).2


Gambar3. erythema multiforme
4. Erythroderma

Definisi
Erythroderma dan dermatitis exfoliative biasanya dipakai untuk menjelaskan penyakit yang sama dalam literatur. Terma sebelumnya menjelaskan eryhtroderma sebagai dilatasi yang menyebar dari penbuluh darah kutaneus. Apabila proses inflamasi disertai dengan erythroderma secara substantial akan meningkatkan proliferasi sel epidermal dan mengurangi waktu transitsel epidermal melalui epidermis yang bisa menimbulkan sisik bertanda. 1
Istilah ”red man syndrome” biasanya digunakan pada dermatitis exfoliatif yang idiopatik yang mana tidak ditemukan penyebab primer walaupun telah menjalani beberapa serial pemeriksaan dan tes. Erythroderma idiopatik ini ditandai dengan keratoderma palmoplantar, limfadenopati dermatopati dan peningkatan kadar serum immunoglobulin E (IgE). Istilah I’homme rouge merujuk kepada dermatitis exfoliatif yang merupakan limfoma sel-T sekunder.3

Epidemiologi
Pada orang dewasa, penyakit kulit dini, beberapa keganasan atau malignancy dan allergi obat-obatan bisa menyebabkan erythroderma, namun pada variabel, beberapa pasien mengalami erythroderma tanpa penyebab yang jelas (Abrahams et al, 1963; Nicolis dan Helwig, 1973; Sehgal dan Srivastava, 1986; Thestrup-Padersen et al, 1988). Kecuali apabila kondisi ini menyangkut atau disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis seborrhoeic, atau ichtyosis herediter, erythroderma biasanya muncul selepas usia 40 tahun. Laki-laki dikatakan berpotensi untuk terkena erythroderma dua kali lipat berbanding wanita.1

Etiologi
Erythroderma bisa muncul akibat berbagai penyebab, yang paling sering lanjutan dari tahap dini suatu gangguan kulit. Eryhtroderma juga bisa disebabkan oleh suatu efek samping dari reaksi obat-obatan. Walaubagaimanapun, sebanyak 30% dari semua kasus erythroderma yang dilaporkan, tidak ada panyebab yang jelas ditemukan. Iniuyang dinamakan erythroderma idiopatik.
Penyebab-penyebab yang paling sering ditemukan pada tahap awal suatu gangguan kulit yang menyebabkan erythroderma ialah:
• Dermatitis terutama dermatitis atopik, dermatiti kontak (allergi atau iritan) dan dermatitis stasis (gravitational eczema) dan pada bayi, dermatitis seborrhoiec.
• Psoriasis
• Pityriasis rubra pilaris
• Penyakit-penyakit blister termasuk pemphigug dan pemphigoid bullosa.
• Limfoma sel-T kutaneus (Sezary Syndrome)
Erythroderma juga bisa merupakan simtom atau gejala dari penyakit sistemik seperti:
• Kaganasan interna seperti karsinoma rektum, paru-paru, tuba fallopi, kolon.
• Keganasan hematologi seperti limfoma dan leukaemia.
• Penyakit Graft vs Host
• Infeksi HIV.7

Patofisiologi
Peningkatan perfusi darah kulit mundul pada erythroderma yang menyebabkan disregulasi temperatur (menyebabkan kehilangan pabas dan hipotermia) dan kegagalan output jantung. Kadar metabolik basal meningkat sebagai kompensasi dari kehilangan suhu tubuh.3
Epidermis yang matur secara cepat kegagalan kulit untuk menghasilkan barier permeabilitas efektif di stratum korneum. Ini akn menyebabkan kehilangan cairan transepidermal yang berlebihan. Normalnya kehilangan caira dari kulit diperkirakan 400 ml setiap hari dengan dua pertiga dari hilangnya cairan ini dari proses transpirasi epidermis manakala sepertiga lagi dari perspirasi basal. Kekurangan barier pada erythroderma ini menyebabkan peningkatan kehilangan cairan ekstrarenal. Kehilangan cairan transepidermal sangat tinggi ketika proses pembentukan sisik (scaling) memuncak dan menurun 5-6 hari sebelum sisik menghancur.1
Hilangnya sisik eksfoliatif yang bisa mencapai 20-30g/hr memicu kepada timbul keadaan hipoalbuminemia yang biasa dijumpai pada dermatitis exfoliative. Hipoalbuminemia muncul akibat menurunnya sintesis atau meningkatnya metabolisme albumin. Edema biasanya paling sering ditemukan, biasanya akibat peralihan cairan ke ekstrasel. Respon imun mungkin bisa berubah, seiring adanya peningkatan gamma-globulins, peningkatan serum IgE pada beberapa kasus, dan CD4+ sel-T limfositopenia pada infeksi HIV.3
Gambaran Klinis
1. Gambaran histologis
a) Penyakit kutaneus tahap awal (pre-existing cutaneuous disease)
Psoriasis mempunyai spongiosis minimal dengan infiltrate neutrofil dan limfosit pada dermal, tetapi bukan eosinofil atau sel plasma. Mikroabses Munro di epidermis, menyebabkan parakeratosis, penipisan epidermis suprapapillary dan edema dari papillae dermal disertai dilatasi kapiler papilari.
b) Penyakit sistemik
Allergi obat-obatan bisa memaparkan eosinofil diantara infiltrate eosinofil. Mikosis fungoides / Sezary syndrome bisa membentuk gambaran infiltrat seperti monotonous band (monotonous band-like infiltrate), terdiri dari sel mononuclear –cerebriform yang besar, sepanjang dermoepidermal junction atau sekitar pembuluh darah di dalam dermis papillary, epidermitropism tanpa spongiosis dan mikroabses Pautrier tanpa epidermis (Sentis et al, 1986)*
c) Idiopatik
Specimen histologik tidak spesifik, walau bagaimanapun, ulangan biopsy bisa menunjukkan bukti dari mikosis fungiodes.
2. Gambaran klinik
Erythroderma biasanya muncul pada mereka yang berusia diatas 40 tahun. Biasanya lebih banyak mengenai laki-laki berbanding wanita. Ia bisa berlaki sangat cepat. Gejala dan simtom erythroderma termasuklah:7
• Kemerahan kulit ganeral (erythema) dam pembengkakan yang meliputi 90% atau lebih dari seluruh permukaan kulit.
• ‘Serous ooze’, hasil dari pakaian yang melekat di kulit dan bau yang tidak menyenangkan.
• Penyisikan 2-6 hari selepas onset erythema, seperti empingan yang besar.
• Berbagai derajat kegatalan yang kadang-kala tidak bisa di toleransi.
• Penebalan sisik pada kepala dengan berbagai derajat keguguran rambut termasuk kebotakan total.
• Penebalan telapak tangan dan kaki (keratoderma)
• Pembengkakan kelopak mata bisa menyebabkan ectropion ( permukaan dalam kelopak mata bawah terpapar keluar)
• Kuku menjadi pecah dan menebal bahkan sampai tercabut.
• Erythroderma yang lama bisa menyebabkan perubahan pigmen (bercak coklat dan / atau putih pada kulit)
• Infeksi sekunder bisa menyebabkan munculnya pustul dan krusta
• Pembesaran kelenjar limfe (lifadenopati)
• Kontrol temperatur yang abnormal yang mengakibatkan demam dan menggigil atau hipotermia
• Meningkatkan denyut jantung sebagai akibat dari gagal jantung yang tidak ditangani atau kasus-kasus berat yang biasanya terjadi pada orang tua.
• Kadar elektrolit yang abnormal serta dehidrasi akibat kehilangan cairan lewat kulit.
• Kadar serum albumin yang rendah akibat kehilangan protein dan peningkatan kadar metabolik.




Gambar 4. Erytroderma

5. Angioedema

Definisi
Angioedema dan urtikaria memberikan manifestasi yang berbeda dengan proses patologi yang sama.Kedua-dua kondisi menunjukkan terdapat kebocoran cairan dan edema pada hasil postcap.Walaubagaimanapun,angioedema melibatkan pembuluh darah pada superficial dermis di lapisan kulit.Hasil ini menunjukkan gambaran klinis yang berbeda.Respon diatas diperantarai oleh histamine,serotonin dan kinin(contohnya;bradikinin) yang menyebabkan dilatasi arteriol dimana junction diantara sel endotel longgar dari kapilari dan arteriol.10Angioedema muncul sebagai gambaran klinis dari mekanisme imunologi dan inflamasi atau bisa juga idiopatik.Angioedema bisa muncul selepas terjadi reaksi IgE- atau IgE reseptor dengan disertai abnormality sistem komplemen dan sistem efektor plasma setelah degranulasi mast sel dan berhubung dengan aktivasi asam arakidonat seluler pada metabolic pathways .11Angioedema adalah penyakit biasa dimana tergantung kepada faktor usia,bangsa,sex,pekerjaan dan lokasi geografi serta musim,angioedema bisa mungkin menjadi proses akut jika kurang dari 6 minggu.Angioedema dengan urtikaria atau tidak diklasifikasikan kepada alergik,hereditary atau idiopatik.11

Gambaran Klinik
 Edema pada muka,extremitas,mungkin sedikit nyeri tanpa pruritus,bisa terjadi beberapa hari.Melibatkan juga bibir,dagu,area periorbital,lidah dan laring.11
Angioedema bisa juga pada system organ vital contohnya traktus respiratorius.12
 Pembengkakan superficial dermis dengan wheals yang ditandai dengan warna pink dan pruritus dimana area angioderma sering pucat dan nyeri.13

Penatalaksanaan
a) Penjagaan prehospital
Menjaga jalan nafas
Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
b) Emergency department care
Menjaga jalan nafas
Intubasi nasofaringeal
Steroids epeniferin subcutaneous
Angioedema kronik merespon baik pada steroids dan H2 blockers.
Angioedema herediter lebih melawan kepada penggunaan epineferin subcutaneous,antihistamin dan steroid.
Stanozolol,anabolic steroid,danazol,inhibitor gonadotropin.
 Asam aminocaproic untuk seimbangkan pregantian C11NH untuk mengelakkan serangan.Fresh frozen plasma mungkin bisa digunakan untuk sementara.

c) Konsultasi
Ahli imunologi bisa bertemu dengan penderita yang tidak diketahui history angioedemanya.
Pada penderita dengan tipe heriditer follow up dengan ahli imunologis sangat penting.


Gambar 5.Angioedema;bengkak pada bibir
6. Reaksi reversal
Reaksi tipe 1 menampakkan bertambahnya respon kompleks imun terhadap m. leprae, dan pada umumnya terjadi setelah dimulainya terapi. Bila reaksi terjadi dengan antibiotic kemoterapi, maka disebut reaksi reversal, dan bila terjadi pada tipe borderline dan lepromatous (downgrading), maka disebut reaksi downgrading.17
Reaksi tipe 1 secara klinik menunjukkan adanya inflamasi dari lesi. Tidak terdapat gejala sistemik (seperti demam, ataupun artralgia). Lesi membengkak, menjadi eritema dan kadang nyeri menyebabkan selulitis. Pada kasus berat, ulserasi bisa terjadi. Komplikasi yang berat dari reaksi tipe 1 adalah kerusakan saraf. 17
Reaksi ini juga bisa terjadi setelah kemoterapi tapi berbeda dengan ENL. Masa onset lebih lambat daripada ENL (beberapa minggu sampai bulan), dan bisa terjadi selama berbulan-bulan jika tidak di obati dengan cepat. 17
Sebagai inflamasi mediasi sel menyerang antigen m.leprae, adanya infeksi maka dapat merusak kompartmen jaringan. Karena basil ke saraf, maka gejala saraf sserinf didapatkan. Reaksi reversal yang terjadi pada saraf mungkin menyebabkan kehilangan fungsi saraf secara tiba-tiba dan kerusakan permanent saraf tersebut. Hal ini menyebabkan reaksi tipe 1 merupakan kasus emergensi. Secara histology, lesi kulit menampakkan edema perivaskular dan perineural serta banyaknya jumlah limfosit. Pada kasus yang hebat mungkin terdapat nekrosis jaringan.17
Meskipun reaksi muncul setelah diberikan obat antileprosi, namun tidak dibenarkan untuk menghentikan obat tersebut karena terjadinya reaksi. Pada reaksi ringan, tanpa komplikasi neurology atau gejala sistemik berat, terapi hanya bersifat suportif. Tirah baring dan pemberian aspirin atau agen anti inflamasi steroid bisa digunakan.17
Reaksi tipe 1 biasanya diterapi dengan kortikosteroid sistemik. Prednisone diberikan peroral, dimulai dengan dosis 40-60 mg/hari. Neuritis dan luka pada mata merupakan indikasi penting untuk terapi steroid sistemik. Abses pada saraf mungkin butuh pembedahan segera untuk melindungi fungsi saraf. Saat reaksi terkontrol prednisone perlu di tapering pelrlahan. Clofazimine menunjukkan efek perlawanan yang sama terhadap reaksi tipe 1. 17

Gambar 6. reaksi reversal
7. Eritema nodosum leprosum

Definisi
Eritema nodosum merupakan penyakit akut, noduler, erursi eritematoua yang biasanya terbatas pada bagian extensor kaki. EN jarang kronik dan rekuren tapi bisa saja terjadi. EN dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas dan bisa terjadi oleh karena beberapa penyakit sistemik atau karena terapi obat, atau mungkin saja idiopatik. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria dengan rasio 4:1. EN bisa terjadi pada anak-anak dan pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun, tapi lebih sering terjadi pada dewasa muda yaitu pada usia 18-34 tahun.22

Patofisiologi
EN mungkin merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap berbagai jenis antigen, complex imun dalam sirkulasi belum ditemukan pada jenis idiopatik atau kasus-kasus biasa tapi mungkin ditemukan pada pasien dengan penyakit inflamasi saluran cerna. 22

Gejala klinik
Fase erupsi EN dimulai dengan flulike symptoms dengan demam dan nyeri seluruh badan. Artralgia bisa terjadi dan mendahului erupsi atau muncul selama fase erupsi. Lasi yang timbul oleh karena infeksi akibat EN banyak yang sembuh dalam 7 minggu, tapi bentuk aktif mungkin bisa sampai 18 minggu. Namun, pada 30 % EN yang idiopatik bisa bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Demam dengan penemuan kelainan kulit seperti tiba-tiba sakit dengan demam yang diikuti dengan nyeri rash selama 1-2 hari. 22
Pada penemuan fisik, kelainan kulit didapatkan terbatas pada kulit dan sendi. Lesi mulai dengan bentuk nodul merah yang nyeri tekan. Batas lesi sulit ditentukan, dan berukuran 2-6 cm. Selama minggu pertama lesi menjadi keras, tegang, dan nyeri, pada minggu kedua, lesi menjadi fluktuan sepeti pada abses, tapi tidak bersifat supuratif atau ulseratif. Lesi ada selama hamper 2 minggu, tapi kadang, lesi baru selanjutnya muncul selama 3-6 minggu. Sakit pada kaki dan bengkak pada pergelangan kaki bisa berlangsung selama berminggu-minggu. Distribusi lesi kulit: lesi muncul pada kaki bagian anterior, walapun demikian, lesi tersebut juga bisa muncul pada tempat lain. Lesi berubah warna pada minggu kedua dari merah terang menjadi biru pucat. Lesi akan menghilang pada 1 atau 2 minggu karena deskuamasi kulit. Adenopati hiler bisa berkembang karena reaksi hipersensitifitas EN. Limfadenopati hiler bilateral berhubungan dengan sarkoidosis, dengan perubahan umilateral bisa terjadi dengan infeksi dan keganasan. Artralgia terjadi pada lebih dari 50 % pasien dan mulai selama fase erupsi atau mendahului erupsi selama 2-4 minggu. Eritema, bengkak dan nyeri terjadi pada sendi, kadang dengan efusi. Nyeri sendi dankaku pada pagi hari dapat terjadi. Beberapa sendi dapat terlibat, namun pergelangan kaki, lutut, dan pergelangan tangan adalah sendi yang paling sering terlibat.
22


(A) (B)


(C) (D)
Gambar 7. (A) Lesi awal EN menampakkan nodulsubkutan berwarna merah. (B) Nodul yang menjadi confluent yang menghsilkan plak eritematous. (C) Lesi stage lanjut EN menunjukkan plak datar keunguan. Pasien in juga mnederita sarkoidosis. (D) Lesi stage lanjut EN yang mengenai pergelangan kaki. Pasien in menderita colitis ulseratif.

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiology
3. Tes-tes lainnya: skin test epidermal
4. Histopatologi: gembaran klasik EN yaitu penniculitis septal dengan infiltrate inflammatory limfositik perivaskuler superfisial tipis dan dalam. 22

Penatalaksanaan

Pada banyak pasien, EN merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri dan hanya membutuhkan terapi simptomatik dengan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kompres dingin, elevasi dan tirah baring. Konsultasi dan kerjasama mungkin diperlukan antara:
• Ahli penyakit kulit dan kelamin untuk evaluasi penyebab EN
• Ahli penyakit dalam untuk evaluasi penyebab EN.22

8. Pemfigus vulgaris

Definisi
Pemfigus berasal dari bahasa Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh. Pemfigus dideskripsikan sebagai kelompok penyakit bullosa kronik, yang Istilah pemfigus masukdiberi nama oleh Wichman pada tahun 1791. dalam kelompok penyakit melepuh autoimun pada kulit dan membrane mukosa yang ditandai oleh adanya lepuhan intradermal dan ditemukannya antibody immunoglobulin G (IgG) dalam sirkulasi yang melawan permukaan sel keratinosit. Yang termasuk dalam penyakit pemfigus adalah pemfigus vulgaris (PV), pemfigus folliaceus dan paraneoplastik pemfigus dengan kasus pemfigus vulgaris yang terbanyak yaitu sekitar 70 %.25

Patofisiologi
PV adalah penyakit autoimun, intraepithelial, penyakit melepuh yang menyerang kulit dan membrane mukosa yang ditandai dengan didapatkannya antibodi dalam sirkulasi yang menyerang permukaasn sel keratinosit. Pada tahun 1964, autoantibodi menyerang permukaan keratinosit digambarkan pada pasien pemfigus. Observasi klinik dan experimental menunjukkan autoantibody dalam sirkulasi merupakan pathogen. Predisposisi immunogenetik tak bisa dipungkiri. Lepuhan yang terjadi pada PV berehubungan dengan ikatan autoantibody IgG pada permukaan molekul sel keratinosit. Antibodi interseluler atau PV ini berikatan dengan desmosom keratinosit dan dengan area bebas desmosom pada membran sel keratinosit. Ikatan autoantibody menyebabkan kehilangan adhesi sel, disebut akantolisis.25
PV antigen: adhesi intraseluler pada epidermis melibatkan beberapa molekul permukaan sel keratinosit. Antibodi pemfigus mengikat molekul permukaan sel keratinosit desmoglein 1 dan desmoglein 3. ikatan antibodi dengan desmoglein menyebabkan efek langsung terhadap adheren desmosomal atau mungkin memacu proses seluler yang menghasilkan akantolisis. Antibodi spesifik untuk antigen desmosomal juga didapatkan pada pasien PV, meskipun begitu, peran antigen pada patogenesis penyakit masih belum diketahui. Antibodi: pasien dengan penyakit aktif mempunyai autoantibodi dalam sirkulasi dan terikat pada jaringan dari subklas IgG1 dan G4.25

Gejala klinis
PV menunjukkan lesi pada mulut pada 50-70% pasien, dan hampir semua pasien mengalami lesi pada mukosa. Lesi mukosa mungkin merupakan tanda awal sekitar 5 bulan sebelum lesi kulit berkembang. Pada kulit, terjadi lesi kutaneus. Lesi pada PV adalah lepuhan yang kaku, yang bisa terdapat pada kulit normal tapi bisa ditemukan pada kulit eritematous. Kulit yang terlibat sering terasa nyeri tapi jarang gatal.25
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa merupakan tempat yang pertama kali terserang. Pasien dengan lesi mukosa mungkin didaptkan oleh dokter gigi, dokter bedah oral, atau ahli ginekologi. Pada membran mukosa didapatkan
• Bulla yang intak jarang pada mulut. Biasanya ditemukan berbentuk tidak teratur, erosi pada ginggiva, buccal, atau palatin yang nyeri dan lambat membaik.
• Membrane mukosa yang paling sering adalah cavum oral yang terlibat pada hampir semua pasien PV dan kadang merupakan satu-satunya area yang terlibat. Erosi mungkin bisa terlihat di suatu daerah cavum oral. Erosi mungkin menyebar sampai ke laring yang menyebakan serak. Pasien sering tidak bisa makan atau minum secara adekuat karena erosi.
• Permukaan mukosa lainnya dapat terlibat termasuk konjungtiva, esofagus, labia, vagina, serviks, penis, uretra, dan anus.25



Gambar 8 (A)Pemfigus vulgaris pada cavum oral. (B) Pemfigus vulgaris pada kulit

Pada kulit: lesi primer PV adalah lepuhan flaccid yang berisi cairan yang tumbuh pada kulit normal atau pada kulit eritematous. Lepuhannya rapuh, sehingga, intak lepuhan mungkin tipis. Cairannya keruh, atau lepuhan yang ruptur akan menghasilkan erosi yang nyeri, yang paling banyak ditemukan di kulit. Erosi sering besar karena cenderung meluas secara perifer dengan peragntian epitel. Pada kuku didapatkan peronikia akut, subungual hematom, dan distrofi kuku. 25

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
• Dalam menegakkan diagnosis dilakukan: histopatologi, direct immunofluorescence (DIF), dan indirect immunofluorecence (IDIF)
• Biopsi kulit25

Penemuan histologi: histopatologi menggambarkan lepuhan intradermal. Perubahan awal terdiri dari edema dengan kehilangan ikatan interseluler pada lapisan basal. Lepuhan kulit mengandung sel akantolitik. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan untuk membedakan PV dengan pemfigus folliaceus.25

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PV sama dengan penyakit bullosa autoimun yang lain, yaitu dengan mengurangi formasi blister, mempercepat penyembuhan blister(lepuhan) dan erosi , dan mnentukan dosis obat minimal dalam mengontrol proses penyakit.
Konsulatsi dan kerjasama dapat dilakukan antara:
• Ahli penyakikt mata
• Ahli THT
• Penyakit dalam subdivisi endokrinalogi25

9. Purpura-Vaskulitis6
Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput lendir(mukosa) dengan manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada penekanan.Kadang-kadang purpura dapat diraba(palpable purpura).Purpura secara perlahan-lahan mengalami perubahan warna,mula-mula merah kemudian menjadi kebiruan,disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan menghilang.Purpura bisa diklasifikasikan kepada dua yaitu,purpura tanpa inflamasi dan purpura dengan inflamasi(vaskulitis).
Purpura dengan inflamasi terbagi:
1. Vaskulitis leukositoklastik(purpura anafilaksis)
2. Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
3. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta(Mucha Haberman)
4. Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
5. Purpura infeksiosa(meningokok,gonokok,M.leprae,riketsia)
6. Purpura akibat alergi obat.

1.Vaskulitis leukositoklasik(purpura anafilaksis)
Disebut juga sebagai purpura alergik.Kelainan ini diakibatkan karena reaksi antigen antibody di dekat endotel pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan permeabilitas pada dindingnya dan dilatasi pembuluh darah.
Klinis didapatkan adanya purpura yang dapat diraba ,eritema,edema,urtikaria,dan bula.Tempat predileksi adalah tempat yang berhubungan dengan tekanan hidrostatik.Apabila kelainan terbatas disebut sebagai purpura simpleks.Bilamana disertai nyeri sendi dinamai sindrom SCHOLEIN dan bila disertai gejala saluran cerna serta saluran kemoh disebut sindrom HENOCH.

2.Krioglobulinemia campuran(vaskulitis neutrofilik)
Krioglobulin adalah immunoglobulin yang mengendap pada suhu dingin dan mencair lagi pada suhu panas.Ada dua jenis yaitu krioglobulinemia monoclonal dan campuran(multikomponen).Krioglobulinemia campuran merupakan imunukompleks IgG dan IgM,dapat ditemukan pada lupus eritematosus sistemik dan arthritis rheumatoid,infeksi hepatitis B,dan vaskulitis leukositoklastik.Secara klonik dijumpai adanya purpura yang dapat diraba.atralgia dan glomerulonefritis.

3.Ptiriasis likenoides et varioliformis akuta(PLEVA)
Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit MUCHA HABERMAN,klinis terdapat erupsi kulit yang luas terutama di badan ditandai dengan papul-papul yang berkembang menjadi papulonekrotik disertai perdarahan dan meninggalkan bekas sikatriks ringan.

4.Purpura pigmentasi kronik(vaskulitis limfositik)
Menurut LEVER ada 4 penyakit yang termasuk didalamnya,yaitu:
a) Purpura anularis telangiektoides(MAJOCHI)
Kelainan ini dapat mengenai usia dewasa muda,tetapi juga dapat pada semua golongan umur,tidak terdapat perbedaan jenis kelamin.Lesi dimulai dengan macula eritematosa karena dilatasi kapiler pada seluruh tubuh.MACKEE (1915) menyatakan ada tiga fase penyakit yaitu fase telangiektasis,perdarahan,serta pigmentasi dan atrofi.Fase telangiektasis diikuti timbulnya titik merah hitam di tepi lesi.Lesi secara perlahan-lahan meluas berukuran 1-2cm.Penyembuhan dimulai dari bagian tengah sehingga membentuk lesi anular.Lesi anularis akan bersatu membentuk arkus yang sirsinar.Lesi ini akan menetap beberapa bulan sampai beberapa tahun dan akan meninggalkan atrofi.
b)Dermatosis pigmentosa progresif(SCHAMBERG)
Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai dengan lesi merah kecoklatan disebabkan adanya endapan hemosiderin di kulit tampak bercak-bercak merah disebut cayene pepper, terutama pada anggota badan bagian bawah. Pada umumnya lesi timbul tanpa disertai rasa gatal. Kelainan ini menetap selama bertahun-tahun meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
c)Dermatosis purpura pigmentosa likenoides (GOUGEROT dan BLUM)
Lebih dikenal dengan nama sindrom GOUGEROT-BLUM.Biasanya timbul pada usia sekitar 40-60 tahun.Lokalisasi di mana saja tetapi tersering di tungkai berbentuk papul likenoid yang bersatu membentuk plakat,lesi dapat simetris dan menetap dan mempunyai warna yang bermacam-macam. Seringkali dihubungkan dengan liken aureus.
d)Purpura ekzematoid(DOUCAS dan KAPENTANIS)
Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bawah biasanya gatal ditandai adanya papul, skuama dan likenifikasi. Purpura ekzematoid, pigmentosa purpura di ekstremitas bawah dan itching purpura sulit dibedakan dengan SCHAMBERG. Karena itu keempatnya secara klinis baik disebutkan sebagai purpura pigmentosa kronika.

5.Purpura infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskuler baik langsung atau melalui reaksi alergi. Terdapat kelainan laboratorium yaitu trombositopenia. Infeksi tersering adalah oleh meningokok yang mengakibatkan terjadinya sepsis, endokarditis bacterial, infeksi virus misalnya morbili dan lain-lain. Purpura dapat timbul sebagai gejala prodromal.

6.Purpura akibat alergi obat
Berbagai obat dapat menimbulkan purpura.
Obat yang menekan sumsum tulang misalnya benzol dan nitrogen mustard.
Obat yang merusak sumsum tulang misalnya kliramfenikol
Obat yang merusak/menimbulkan trombositopenia misalnya kina dan sedermid.
 Obat lain yang menyebabkan purpura antara lain;fenobarbital,yodida.streptomisin,salisilat,tolbutamid,klorpropamid dan antimetabolik.



10. Staphylococcal scalded skin syndrome

Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan bengkak kemerahan pada kulit yang tampak seperti terbakar (scald), makanya ia dinamakan staphylococcal scalded skin syndrome.1 SSSS disebabkan oleh pelepasan dua eksotoksin (toksin epidermolitik A dan B) yang berasal dari strain toksigenik bakteri Staphylococcus aureus. Desmosom adalah merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekil di antara desmosom dikenali sebagai Desmoglein 1 dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh. 2
SSSS juga dikenali sebagai Penyakit Ritter’s atau Penyakit Lyell’s apabila ia muncul pada bayi atau anak-anak.1,2

Epidemiologi
SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah 5 tahun, biasanya pada neonatus. Antibody pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal biasanya didapat ketika usia anak-anak yang menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja dan dewasa. Kurangnya imunitas spesifik terhadap toksin dan system renal clearance yang immature (toksin biasanya dikeluarkan dari tubuh lewat ginjal) menjadikan neonatus sebagai yang palin berisiko.
Individu dengan immunokompromi dan individu dengan gagal ginjal, tanpa mengira umur, bisa juga berisiko menndapat SSSS.1,2

Patofisiologi
SSSS bermula dari infeksi staphylococcus yang memproduksi 2 eksotoksin (toksin epidermolitik A dan B). kedua-dua toksin ini menyebabkan pemisahan intraepidermal ke lapisan granular oleh desmoglein 1 yang merupakan protein desmosomal yang memediasi pelekatan sel-sel keratinosit dalan lapisan granular sehingga akhirnya menyebabkan kulit menjadi tidak utuh.1
Pembawa dewasa yang asimtomatik memaparkan bakteri kausatif ini di tempat penjagaan anak. Pembawa S aureus lewat nasal yang asimtomatik muncul 20-40% pada orang sehat, yang mana organisma tersebut terisolasi di tangan, perineum dan axilla dalam proporsi kecil dari seluruh populasi.1,2

Gambaran Klinik
SSSS biasanya dimulai dengan demam, gelisah dan kemerahan meluas pada kulit. Dalm wakti 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan. Benjilan-benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.2
Karakteristik lesi termasuklah:
• Bulla-bulla besar di axilla, skrotum dan lubang-lubang tubuh seperti hidung dan telinga.
• Bintik-bintik kemerahan menyebar ke bagian tubuh yang lain seperti lengan, kaki dan trunkus. Pada neonatus, lesi sering pada area popok atau sekeliling tali pusat.
• Lapisan atas kulit mulai mengelupas, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri.
Simptom-simtom lain adal seperti nyeri di area sekitar tempat infeksi, kelemahan dan dehidrasi.

Pengobatan
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap, antibiotik intravena umumnya diperlukan untuk mengeradikasi infeksi staphylococcal. Antibiotik yang biasa digunakan adalah flucloxacillin. Berdasarkan respon terapi, antibiotik oral bisa diganti setelah beberapa hari. Terapi suportif lain adalah :
• Paracetamol bila perlu untuk demem dan nyeri
• Mempertahankan intake cairan dan elektrolit
• Penjagaan kulit1

Gambar 10 gambaran lesi pada kulit pada penyakit SSSS.























Daftar Pustaka

1. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H (editor). Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93

2. Weston WL, Erythema Multiforme and Steven-Johnson syndrome. In: Bolognia J.L, Jorizzo LJ, Rapihi RP (editors). Dermatology: volume one. London. Mosby: 2003.p 313-16

3. Umar SH. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis). [online] 2006 Feb 8 [cited 2007 jan 17]; available from: URL: http://www.emedicine.com/

4. Oguindele O. Erythema multiforme. [online] 2006 June 19 [cited 2007 Jan 17]; available from: URL: http://www.emedicine.com/

5. Stewart M. Erythema Multiforme and Toxic Epidermal Necrolysis [online] 1992 Feb 20 [cited 2007 Jan 17]; availabla from: URL:http:www.BCM.org/Erythema multiforme/htm

6. American Osteopathic College of Dermatology. Erythema Multiforme. [online] [2001] [CITED 2007 Jan 17]; Available from: URL:http:www.AOCD.org/Erythema Multiforme/htm

7. New Zealand Dermatologycal society incorporated. Erythroderma. [online] 2006 Dec 26 [cited 2007 Jan 17]; Available from: URL:http://www.DermNet.NZ.org/

8. Kim J. Staphylococcal scalded skin syndrome. [online] 2005 Aug 10 [cited 2007 Jan 24]; Available from: URL: http://www.emedicine.com/

9. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. [online] 2006 Dec 25 [cited 2007 Jan 24]; Available from :URL: http//www.DermNEt.NZ.org/

10. Dodds N. Angioedema. [online]2005 [cited 2007 January 20]. Available from: http://ww.emedicine.com/emerg/topic32.htm

11. Soter. NA, Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Freedberg I.M, Elisen AZ, Wolff K, Austen K. F, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fritzpatrick’s Dermatology in general Medicine. 6th ed. New York (NY): Mc Graw Hill; p. 1129-1138

12. Moschella SL, Hurley HJ, Urticaria and Angioedema. In: Dermatology. 3rd edition. Philadelphia: WB. Saunders company; p 286-304

13. Gratton CHE, Black AK: Urticaria and Angioedema. In: BOlognia JL. Jorizzo JL, Rapihi RP, Dermatology. Volume one. London: Mosby; p. 287-9
14. Levene GM, Calnan CD, A Colour atlas of dermatology. 7th ed. Wolfe Medical Pablications LTD; 1979. p. 99-270

15. kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Minaldi SL; Kusta: Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 3rd ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999. p.71-86

16. Smith DS. [online] 2006 [cited 2006 July 24]. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic1281.htm

17. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen’s disease. In Andrews Diseases of THE Skin Clinical Dermatology. 10th ed. New York: Saunders Elsevier; p. 344-52

18. Garra GP. Toxic Epidermal Necrolysis. [online] 2005 [cited 2007 January 24]; [9 screens]. Available from: http://www.emedicine.com.toxic epidermal necrolysis.htm

19. Cohen V. toxic Epidermal Necrolysis. [online] 2006 [cited 2007 January 24]; [11 screens]. Available from: http://www.emedicine.com. Toxic epidermal necrolysis.htm

20. Parrillo SJ. Steven-Johnson Syndrome. [online] 2006 [cited 2007 January 24]; [10 screens. Available from: http://www.emedicine.com.Steven Johnson Syndrome.htm

21. Hebel JL. Erythema nodosum. [online] 2006 [cited 2007 January 24]; [11 screens]. Available from: http://www.emedicine.com/derm/topic138.htm

22. Requena L. Erythema Nodosum. [online] 2006 [cited 2002 January 24]; [11 screens], available from:http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/enodosum/requena.html

23. Erythema and urticaria [online] 2006 [cited 2007 January 24]. Available from: http:// Principles of Pediatric Dermatology - Chapter 29 ERYTHEMAS AND URTICARIA.html

24. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Pemvigus Vulgaris. [online] 2006 [cited 2002 January 24]. Available from: http://www.dermnetnz.org/immune/pemphigus-vulgaris.html

25. Zeina B. Pemvigus Vulgaris. . [online] 2006 [cited 2007 January 24]; [11 screens]. Available from: http://www.emedicine.com/dermatology\pemv vulgaris\eMedicine - Pemphigus Vulgaris .htm

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 R.A.K.E.L | TNB